Mengintip Kota Basel

PicsArt_1379317973751

“Sebenernya Basel itu kota apa sih? kita mau ngeliat apa disana? Kenapa kita harus kesana? Swiss kan negara mahal” omelan panjangnya memaksaku tetap terjaga di dalam kereta SNCF yang baru saja beranjak dari Gare de Lyon, Paris menuju Basel.

“Basel itu kota perbatasan antara Swiss, Perancis dan Jerman. Terkenal sebagai kota pusat industri obat dan farmasi. Kita kesana sebenernya karena penerbangan murah ke Istanbul cuma ada dari sana. Tapi kita pasti nemu sesuatu yang bagus untuk diliat deh nanti, tenang aja” jawab saya sambil mengunyah biskuit.

“Oke deh” dia menjawab dengan singkat kemudian langsung terlelap di kursinya.

Hihh pelor! -_-

Waktu masih menunjukkan pukul 6 pagi, langit diluar jendela pun masih pekat. Sebagian besar penumpang sudah terlelap di kursinya. Sedangkan beberapa orang tampak sibuk membaca koran dan memandangi laptopnya. Saya mengurungkan niat untuk ikut terlelap meskipun merasakan kantuk yang luar biasa, karena seperti di Indonesia juga biasanya ada pemeriksaan tiket dan ID card setelah kereta berangkat. Dan benar saja, dari arah depan muncul 2 orang wanita berambut pirang menghampiri saya dan mengucapkan kata-kata yang tidak saya pahami. Saya langsung menyodorkan tiket dan passport sambil tersenyum. Mereka menscan tiket kami dengan alat scan kemudian berkata “merci” dan berlalu ke kursi belakang. Setelah menyimpan tiket dan passport, saya pun bergabung terlelap bersama manusia pelor di kursi sebelah.

PicsArt_1362716463899

Pukul 9, saya terbangun oleh suara kumur-kumur dari pengeras suara yang memberitahukan kita sudah sampai di sebuah stasiun. Saya melihat keluar jendela dan melihan tulisan “Mulhouse”. Oh kami sudah berada di kota perbatasan Perancis dan akan memasuki wilayah Swiss. Kami harus segera bersiap-siap untuk turun kalau tidak mau terbawa sampai ke Zurich. Berhubung pengumuman dari pengeras suara tak ubahnya semacam kumur-kumur bagi kami, akhirnya kami bertanya pada seorang penumpang yang juga sedang bersiap-siap untuk turun.

“is this Basel Station, Sir?”

“Yes, this is Basel”

Baiklah, selain mendapatkan kepastian bahwa kami memang harus turun disini, kami juga mendapatkan pencerahan bahwa pengucapan yang benar untuk Basel adalah s-nya tidak perlu dibaca sama juga seperti Paris. Hih, mubazir banget sih ngapain ditulis kalo gak dibaca *ditoyor*.

Setelah menukarkan beberapa uang Euro menjadi Swiss Franc di money changer yang ada di dalam Stasiun Basel SBB, kami pun melangkah keluar dari stasiun megah yang sudah beroperasi sejak tahun 1854 dan memproklamirkan diri sebagai “world’s first international railway station” itu.

“Beb, aku lapar”

“iya aku juga”

Kemudian mata kami sama-sama tertuju pada sebuah restoran franchise berlogo M di seberang stasiun. Selama di Eropa kami memang selalu mampir ke tempat ini. Karena di beberapa kota di Eropa yang kami datangi, restoran ini menyediakan menu serba 1 EUR. Tentunya ini sangat lumayan bagi traveler kere macam kami yang ingin makanan dengan rasa yang standar dan disajikan hangat. Sangat cocok dinikmati di cuaca Eropa yang sedang dalam peralihan dari musim dingin ke musim semi. Selain itu, tersedianya koneksi wifi gratis juga menjadi bahan pertimbangan kami untuk selalu nongkrong disini πŸ˜€

304744_423261614375921_1151733445_n

gambar diambil dari sini

Tapi ternyata kami salah sangka, di Swiss tidak ada menu serba 1 EUR ataupun 1 CHF. Agak shock rasanya waktu memelototi papan menu yang menunjukkan gambar-gambar makanan dan angka terkecilnya 4 CHF. Apa mau dikata, kami sudah terlanjur masuk restoran, dan memang sedang ingin makan makanan yang hangat karena pagi itu suhu di Basel menunjukkan angka 2 derajat celcius. Sambil tutup mata, saya membayar pesanan kami yang berupa 2 kentang goreng dan1 paket sayap ayam isi 6 potong. Jika dirupiahkan saya rasa bisa untuk makan 4 orang dengan paket lengkap di Indonesia.

“welcome to the most expensive country in the world” kata dia sambil menggigit sayap ayam dengan penuh nafsu

Saya cuma bisa tersenyum kecut sambil merobek-robek struk bertuliskan angka 15 CHF.

Setelah kenyang dipalak, kami segera naik tram berwarna hijau menuju hotel, tak lupa sebelum naik kami membeli tiket dulu di mesin tiket. Cukup mahal biaya naik tram di Swiss, dari stasiun menuju daerah hotel kami harus membayar tiket seharga 3,40 CHF per orang sekali perjalanan πŸ˜₯ Ketika menaiki tram kami sempat celingak celinguk, beneran langsung duduk aja nih? Tanpa nge-tap tiket di pintu atau validate tiket di mesin? mana mesinnya? Tapi karena semua orang naik dan langsung duduk jadinya ya kami ikutan duduk saja πŸ˜€

“Wah kalo tau gini mendingan gak usah beli tiket aja ya tadi” saya nyengir

“Ya jangan donk, emang gak malu sama warga Basel yang tetep tertib beli tiket meskipun gak ada pemeriksaan? Lagian pemeriksaan tiket itu biasanya random lho, kalo tiba-tiba nanti ada pemeriksaan terus kita gak pegang tiket gimana? Kan gawat kalo disuruh bayar denda yang berlipat-lipat lebih mahal” dia nyerocos panjang lebar

“iye kan cuma bercanda, eh kita udah sampe ini” saya langsung beranjak begitu membaca tulisan “Messeplatz” di layar yang terdapat di dalam tram.

“Eh lihat, ada pameran tentang Indonesia disini!” saya berteriak heboh menunjuk spanduk yang terpasang di sebuah gedung, sementara dia sedang sibuk membaca peta dan mengira-ngira arah. Kebetulan pemberhentian tram tempat kami turun memang dekat dengan sebuah gedung serbaguna yang besar. Mungkin ada acara pameran kebudayaan berbagai negara disana.

PicsArt_1379384693226

PicsArt_1369101908941

“wah kita harus dateng ke acara ini, siapa tau bisa sekalian numpang makan. Aku udah kangen makanan Indonesia” Dia berbinar-binar membaca spanduk itu, mungkin sambil membayangkan nasi bebek goreng kesukaannya.

“Yaudah nanti agak sorean kita kesini, sekarang kita ke hotel naroh tas dulu trus jalan-jalan ya”

easyHotel_Basel01

gambar diambil dari sini

PicsArt_1379332681409

Setelah berjalan kaki 5 menit dari pemberhentian tram, kami sampai di meja resepsionis sebuah hotel dengan bangunan tua minimalis dan nuansa oranye di beberapa sudut. Kami disambut oleh seorang resepsionis yang sepertinya keturunan India dengan senyum ramah dan hidung mancungnya. Waktu masih menunjukkan pukul 11, kami hanya menitipkan tas karena belum diijinkan untuk check in. Lalu mas-mas India itu memberikan kami peta kota Basel dan 2 buah kartu sakti sebagai compliment dari hotel. Dengan kartu sakti bernama mobility ticket ini kami bebas mau naik tram atau bus kemana saja di Basel selama 2 hari bahkan sampai ke airport. Alhamdulillah, bisa menghemat biaya dan gak perlu capek-capek jalan kaki :mrgreen:

40 thoughts on “Mengintip Kota Basel

      1. bebe'

        Bener Dit.. kalo jalan2 jgn dikurs-in. Nanti malah ga ngapa2in di hotel aja karena takut sakit hati.. hihihi. Aku diajarin gt sama tanteku dulu. πŸ˜€

        Like

  1. tinsyam

    tahu mo ke basel, bisa ku kontak satu temen disitu yang suaminya kerja di pabrik obat.. itu emang kota obat.. bisa ngirit tuh..
    emang itu kota mahal, temenku aja walupun suaminya kerja di pabrik obat dengan jabatan keren, tetep lah dia kerja di resto, jadi waitres loh, tapi lumayan bisa buat ongkos kalu ke endonesah tiap taon..

    Like

    Reply
    1. rintadita Post author

      Wahh ada temen disana mba? Hihiii waktu itu belom kenal sihh sama mba Tin. Emang mahal ya mbaa…tapi kotanya emang enak sih gak terlalu padat dan jarang banget turis kesana. Berasa anti mainstream πŸ˜€

      Like

      Reply
  2. Meidiana Kusuma (@geretkoper)

    yak ampun Basel :)) jadi keingetan Risk Management Certification aku hahahhaa ngebahas Basel I sama Basel II *eh kok malah dibahas*

    huwaaaa ternyataaahh lebih mahal dari si M di Dubai =.= , padahal kdg si M itu emang pilihan paling cepat yah kalo susah nyari makanan yg lain

    Like

    Reply

Di-read doank itu gak enak, kasih comment donks :)